Hidup Tak Seperti Sekotak Coklat

Life is like a box of chocolate. You never know what you will get…..

Aku tersenyum. Memikirkan perjalanan hidup terkadang membuatku jadi membenarkan perkataan Forrest Gump yang terkenal itu. Hidup itu sepeti sekotak coklat, kau tak akan tau apa yang akan kau dapatkan. Hidupku, mungkin hidup orang lain juga, meskipun beberapa orang mengatakan jalan hidupnya sudah mereka perkirakan jauh-jauh hari. Hebat betul.

Asap rokokku mengambang di langit-langit kamar kosan yang banyak bekas bocornya. Maklum kosan butut. Tapi karena letaknya dekat kampus, harganya jadi selangit. Dasar lintah darat! Itulah, bagi orang malas bekerja keras tapi ingin kaya, bisnis kos-kosan memang menggiurkan. Di Bandung, salah satu lokasi bisnis gombal itu ya di Cisitu ini. Dan disalah satu gangnya, aku menetap sudah satu tahun lebih. Ya, satu tahun semenjak kuputuskan untuk kabur dari kota kelahiranku di Jawa timur, Jember.

“Wis mantep koe kuliah nang Bandung, Nang?” ibuku bertanya saat aku mengisi formulir SPMB.
“Inggih, Bu,” jawabku bersemangat waktu itu.
“Bener, nih? Gak bakalan nangis?” kali ini Mas Ari, kakak sulungku, jahil.
“Iyalah. Masak udah segede ini nangis. Mas Ari juga pas kuliah di Malang, baru seminggu udah pulang lagi. Siapa ya, yang manja sebenernya?”

Ha ha ha….. Itulah semangat anak yang baru lulus ke ITB, membuatku seakan menjadi burung yang akhirnya bisa terbang tinggi. Pintu sangkarnya telah terbuka. Kini bocah ragil itu tidak akan dikuntit dengan perhatian berlebihan Bapak-ibunya, atau kakak-kakaknya. Mandiri, bukan hanya mandi sendiri. Kalau yang itu dari TK aku sudah bisa. Mandiri yang kumasud, yakni menuju kedewasaan. Bukan lagi remaja ingusan yang sensitif dan mudah goyah. All right, the change will be start from here….

“Nama saya Danang Angga Priyadi.”
“Saya nggak nanya nama jelek kamu! Nama BAGUS, tau!”

Aku gondok setengah mati. Nama bagus apaan, masa namaku diganti jadi ‘Mastur’ dalam peran Mastur & Peggy. Meskipun masih lumayan daripada temanku yang diganti jadi ‘Pria Irex’. Ya ampun, kurang ajar betul. Anehnya, dalam ajang ospek seperti ini tidak ada yang berani protes. Semua jadi idiot macam Forrest Gump. Kenapa ya disaat-saat tertentu aku selalu ingat tokoh film yang kutonton awal SMU itu.

Aku terkesan karena filsafatisnya terasa sekali. Banyak nilai-nilai kejujuran dan keberanian yang sudah ditinggalkan orang-orang di jaman ini. Ospek seperti ini saja misalnya, katanya mahasiswa itu anti penindasan, tapi dalam ospek kan penindasan total! Huh! Benar-benar life is like a box of chocolate.

Setahun setelah orientasi omong kosong itu, mulailah aku bertemu dengan perkuliahan jurusan. Kuliah yang menjadikanku mengenal rokok dan jadi pecandu kopi, supaya bisa begadang. Aku tau dua hal itu merusak tubuh, tapi daripada IP-ku yang rusak? Alasannya karena kuliah di Farmasi membuatku seperti mendapat shock terapy. Masa-masa TPB yang lumayan susah menurutku, langsung menjadi Tahap Paling Bahagia, bila dibandingkan perkuliahan di tingkat dua ini.

Praktikum lima kali seminggu! Habislah masa-masa indah saat kita bisa langsung main ke BIP, atau BSM sehabis kuliah. Sekarang begitu sampai kosan sudah magrib dan laporan, serta tugas esok hari telah menunggu. Sampai-sampai malam minggu aku tidak bisa keluar karena ada UTS, serta jurnal meracik yang njlimet, yang sejak responsi belum kugarap sedikitpun. Gila…..

Tapi mungkin ini karma karena aku pilih jurusan yang mayoritas cewek. Tadinya kupikir bisa sekalian ngeceng ke para neng geulis. Tapi ternyata perempuan bisa lebih rajin dan teliti dalam praktikum dan hapalan. Cowok kan berbakat di logika! Cieh!

Saat-saat begadang, sering aku keluar rumah untuk menghilangkan rasa jenuh. Langit malam Bandung ternyata sama indahnya dengan di Jember. Penuh bintang berkelap-kelip, walau lebih sering kelabu karena mendung. Dan kalau hujan dinginnya luar biasa. Aku jadi ingat ibu yang melarangku berada di luar malam-malam. Ibu, jujur aku sangat merindukannya sekarang. Tapi kalau mau pulang masih tiga bulan lagi, waktu lebaran. Jatah pulang memang hanya tiap semester untuk orang-orang perantauan macam aku. Tapi, aku bukan orang cengeng kok.

***

“Woi, nyatet woi, ngelamun wae. . .” aku terlonjak mendengar bisikan di sebelahku. Wawan Gunawan yang sundanesse melihat buku catatanku yang hanya berisi beberapa kalimat dan gambar.
“Gile, malah ngomik lagi. . .” katanya nyengir. Aku menghela nafas.
“Habis bosen. Gak ngerti dari tadi. Mau nyatet ketinggalan, dosen ngomong cepet banget, Wan.”
“Jadi tinggal ngopi ke Rahmi, Nih?”
“Iya donk, bakat konsentrasi dan kecepatan menulis luar biasa kaya dia harus dihargai, he he…..”
“Dasar! Heh, jangan-jangan kamu teh punya maksud lain sering ngopi catetan Rahmi.”
“Yang bener aja, Wan. Kalau aku pacaran kasian ceweknya, kagak pernah diperhatiin. Kuliah aja keteteran.”
Wawan manggut-manggut, “Oceh deh, anak rantau pengejar cum laude, selamat berjuang ajah!”

Benar juga, penyakit ingin IP gede tanpa usaha gede menjangkitiku sejak awal masuk kuliah. Jadinya ya itu, kalau nggak nyontek, ya ngopi catatan teman. Hasilnya lumayan kok, tiga koma. He he….
Begitu kelas berakhir, semua anak segera melesat seperti anak panah. Ada yang ke kantin, mushola, atau bikin keompok untuk melengkapi laporan yang harus diserahkan nanti. Persiapan raktikum, man! Aku sendiri bergegas ke mushola, wudhu kilat, diteruskan sholat yang kayanya jadi pemenang kalau diukur kecepatannya. Lalu bergegas lari ke Lab Kimia Organik di Jurusan Kimia. Sambil jalan bersama teman-teman, kupakai jas lab, seraya mendengarkan Wawan dan Nyoman berkomat-kamit menghapal reaksi-reaksi di modul. Pokoknya nilai tes awal tidak boleh jelek lagi.

“Life is like a box of chocolte, ya?”
“Haah, apa? Lo ngigau ya? Gak tidur semaleman?” Rudi, partner kerjaku yang sibuk mengambil alatalat kimia di laci meja sehabis mengumpulkan tes awal kami meghentikannya sejenak. Aku nyengir.
“Nggak kok, hanya sedikit berflsafat. Sebenarnya kitasedang ngejar apa, she? Capekcapek gini buat meraih apa…”
“Cieh, bisaan lo ngomong ala filsuf begitu. Padahal jawabannya, kan gampang. Ya biar lulus kuliah dengan sukses, lah.”

Aku membantunya menyusun taung reaksi dan labu Erlenmeyer di meja.
“Kalo udah lulus dengan sukses?”
“Kerja dengan gaji gede, punya istri cakep, punya anak lucu yang jadi orang sukses juga.”
“And after that?”

Rudi diam sejenak. Aku terkekeh melihatnya berpikir keras.

“Maksud lo apa sih, Nang?”
“Karena aku nggak tau makanya aku nanya rud. Kayanya impian orang kok monoton banget. Klise. Ya kaya yang kamu bilang tadi. Aku juga dulu pas mau ke Bandung punya pikiran sama, tapi sekarang jadi sering nanya sendiri, apakah hanya sekedar itu? Hidup manusia ceritanya kan macam-macam. Mereka nggak tahu dapet yang mana. Seperti kalo kita milih cokl sekotak. Kita gak tau dapet yang isinya kacang atau kismis….”

Rudi mengangkat bahu sambil geleng-geleng.

“Duh, nggak ngerti, ah. Udah Nang, daripada lo dan gue tambah pusing, mending lo ngambil benzena 50 ml deh. Gih, sana….” katanya sambil menyodorkan gelas ukur dan pipet aku menerimanya sambil tertawa.

Aku ini emang rada-rada miring kali ya. Kalau lagi kumat, aku suka mengemukakan suatu pikiran yang dari waktu ke waktu, perlahan mulai merubah idealismeku waktu lulus SMU dulu. About life, there is something missing tapi apa yang kucari, aku belum tahu dengan pasti.

“Mahasiswa itu kudu peka sama lingkungan, Nang. Peka ama kesengsaraan rayat. Ia harus berani menentang penguasa lalim yang kapitalis. Penguasa kaya gitu sama dengan makan darah dan daging rakyatnya. Lihat Marx, dia kritis banget melihat keadaan di sekitarnya. Menurutku jaman itu hampir sama dengan Indonesia sekarang….”

Aku rada ngeri juga mendengar pendapat temaku yang satu ini, saat kulontarkan pertanyaan yang samadengan yang kutanyakan pada Rudi. Hardi namanya. Kami dulu satu SMU, tapi sekarang dia berubah sekali. Tidak hanya logat Jawanya yang hilang, idealismenya juga berubah total. Dia jadi aktivis organisasi mahasiswa non BEM yang sekarang tengah giat membangun jaringan anar kampus.

“Lalu ita mesti gimana, Har?” tanyaku.
“Susun kekuatan donk. Kita harus berani mengadakan revolusi struktural pemerintahan. Ganti presiden dengan lembaga presidium.”
“presidium itu orangnya siapa saja”?
“Ya, orang-orang yang berjuang untuk rakyat.”
“Kamu jadi sosialis banget, ya, Har.”
“Sosialis itu yang paling mengerti tentang keadilan. Ia tidak mengenal batas-batas srata sosial manusia. Ia yang akan membuat kehidupan suatu negara damai dan tentram, sejahtera lahir dan bathin.”
“Pernah kebukti nggak negara sosialis damai dan tentram, atau rakyatnya sejahtera? Setahuku Soviet pecah. China bahkan ekonominya telah kapitalis, Ku tetep aja semrawut….”

Harditerkejut. Ia segera berusaha bicara lagi. Tapi kata-katanya jadi terbata-bata dan tidak seyakin tadi.

“T…tapi paling tidak lebih mending dari Indonesia”
“Kalo pengen adil, makmur, mending jadi negara kapitalis, Har. Liat Amerika and the gank. Kaya-kaya, kan mereka?”l
“Kan sudah kubilang ini demi rakyat! Ini demi pengemis, gelandangan, dan kaum papa.di negara adidaya sekalipun ada orang-orang kaya gitu, Nang.”
“Banyakan mana jumlah orang-orang tu di negara kapitais dengan negara sosialis? Kan tadi aku minta bukti.”

Hardi diam. Gambar Che Guavara di kausnyajadi terlihat ikut berpikir. Aku lalu meninggalkannya termenung di depan sekre organisasinya. Tapi baru beberapa langkah aku berjalan, kudengar dia berteriak.

“Lalu menurutmu kita mesti gimana?”

Aku berhenti, menoleh padanya dengan senyum sedih.

“Jusru itulah yang sedang kucari, kawan!”
Ganesha, Sabtu pagi.
Begini nasib jadi bujangan
Ke mana-mana, asalkan senang, tiada orang yang melarang.
Keberhasilanku mengatasi rasa malas mencari pustaka untuk laporan prktikum Jumat kemarin, membuahkan waktu bebas di hari Sabtu, kampusku libur, termasuk prpustakaan. Jadi mencari pustaka harus sebelum Sabtu. Laporannya nantilah dikerjai nanti malam. Aku kan tidak punya kewajiban apel. Makanya dari tadi senandungku ya lagu Bujangan, he he…. Pagi ini pokoknya aku mau refreshing! Alone saja.

Tadinya aku berpikir-pikir hendak ke mana sambil berjalan. BIP dan BSM sudah bosan. Gramedia, BEC, Planet dago, Factory outlet… hhh. Aku sedang tidak ingin ke tempat yang penuh orang. Ke Tangkuban? Asyik, tapi perginya malas, jauh banget!

Tak terasa dari Cisitu aku menyeberangi kampus sampai e jalan ganesha. Walaupun banyak kotoran kuda, jalan ini nyaman sekali. Pohon-pohon di kanan-kiri jalan menaungi dari terik sinar matahari. Kalau ada angin, duan-daun keringnya meaburi kepala mereka yang tengah lalu-lalang. Serasa autumn. Aku lalu duduk di bangku besi yang dibangun di tempat yang dulunya penuh warung. Pemda memang tela melarang para penjual makanan urah itu mangkal di jalan ini. Jadi lebih bersih memang, tapi sedi juga. Beberapa dari warung itu langgananku, terutama saat-saat khir bulan, ketika kantong mulai menipis.

Tiba-tiba mataku mengarah pada bangunan berwarna hijau di seberang jalan. Masjid Salman. Masjid kamus yang kukunjungi hanya saat sholat Jumat. Kalau sholat aku biasa di mushola saja. Dekat, cepat, efisien.
Sepertinya di Salman sedang ada kegiatan.

“Nggak ke sana, Dik?”

Aku terlonjak. Seorang pemuda dengan ransel yang lusuh, sepertinya mahasiswa senior. Penampilannya biasa-biasa saja. Tidak seperti anak rohis, tidak juga sangar. Aku menjawab gugup.

“Eh, ng…nggak, Kang.”
“Ikut unit apa di Salman?”
“Saya bukan aktivis masjid,” kataku, entah kenapa ada rasa malu.

Namanya yuditia, mahasiswa mesin angkatan 2002. wah, anak mesin ada yang nggak prem,an juga. Aku menyebutkan nama dan jurusanku dan ia tak terlihat tertarik.

“Farmasi? Wa, sudah bisa bikin obat apa saja, nih?”

Aku tertawa dan mengatakan baru tahu obat sedikit-sedikit. Kami lal bicara dengan akrab. Tantang kuliah, keluarga, aktivitas, cita-cita.

“Pernah mengamati masyarakat sekitarmu nggak, Danang?”
Wah, pertanyaan ini mengingatkan aku pada Hardi.
“Borok, ya Kang?” ia tertawa.
“”Kok bisa menyimpulkan begitu?”

Aku berpikir sebentar.

“Menurutku orang-orang sekarang terjebak pada step-step hidup yang itu-itu saja. Setiap orang merasa harus sukses, lalu kaya, lalu punya keluarga bahagia, selesai. Dampaknya, uangjadi memegang peranan penting papun dilakukan untuk kaya, walaupun sampai mengobral harga diri, itulah maka…”
“Terjajah, tapi tidak sadar,” sambar Kang Yudi. Aku mengerutkan kening.
“Siapa yang menjajah? Kan negara kita sudahmerdeka sejak 1945.”

ia tersenyum dan mnghela nafas.

“Terjajah oleh nafsu dunia. Mereka telah membuat jalan hidup berdasarkan nafsunya. Mungkin kita juga tengah hanyut dalam arus itu. Hati nurani kita sebenarnya menjerit merasaterbebani oleh kewajibn yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Tujuan hidup menjadi harta, tahta, dan wanita. Lalu semua potensi kita kerahkan untuk mengejar itu. Kita lupa, tidak sadar, malas mencari tahu, dan menjadi bobrok seperti kata Danang tadi.”

“Ya itu dia!”tak sadar aku berteriak, “There is something missing about life. Aku selalu ngerasa ada yang hilang tentang makna hidup. Itu dia, kewajiban dan tujuan hidup! Memang yang bagaimana yang sesuai dengan fitrah?”
“Sebelumnya, Danang merasa hidup itu seharusnya seperti apa?”

“Seperti sekotak coklat. Maksudnya kita tidak tahu yang akan terjadi nanti. Sudah ada yang menggariskan. Jadi ya kita cukup jujur, berani, dan setia pada komitmen. Keberubtungan itu pasti datang dari Tuhan.”
“Forrest Gump sekalee…. ha ha ha…. Tapi tetap merasa ada sesuatu yang hilang, ya? Aku mengangguk.
“Kalo boleh mengutip, ijinkan saya mengutip dari buku yang pasti kebenarannya,” Kang yudi menatapku jenak sembari membuka ransel lusuhnya, mengeluarkan terjemahan Al Qur’an yang lusuh pula.
“Ini, yakin nggak dengan kebenaran Al Qur’an?”
“eh? Aku ragu-agu. Tentu saja yakin, api ada maksudnya?
Ia bertanya lagi. “Yakin nggak sama kebenaran Allah?”

Aku jadi bingung. Ia membuka kitab itu dan mulai membaca.

“Al Baqarah 147: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”
“Lalu Al Hajj ayat 54: dan agar orang-orang yang diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur’an itulah yang haq dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepada-Nya dan sesungguhnya Allah adalah pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.”

Ada rasa bergetar di dalam dadaku mendengarnya. Kang yudi melanjutkan lagi.

“Al Bayyinah 5; padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan Dien yang lurus.”

Ia mengangkat wajahnya dan menatapku. Masih dengan tatapan ramah seperti tadi.

“Jadi sudah terjawab?”
Memurnikan ketaatan. Apakah selama ini aku mengakuberagama Islam bertuhann Allah tapi ketaatan yang kuberikan tidak murni untuk-Nya? Aku sholat, puasa, tapi sering melupkan zakat, apalagi shodaqoh. Aku hafal nama-nama artis idolaku dan sejarah hidup mereka, tapi sama sekali tidak tahu searah penegakkan Islam oleh para nabi dan sahabat-sahabatnya. Aku lahir dan hidup dalam keluarga yang berkecukupn di negara damai dan lupa di belahan dunia lain orang-orang muslim berjuang di tengah desingan peluru.

Beranikah aku kini menghadap Allah dan memertnggungjawabkan segala perbuatanku yang sedikit sekali berinteraksi dengan kewajiban asasi manusia, yaitu ibadah? Yakinkah aku bakal selamat saat timbangan amal?

Aku merasa seluruh siwaku diaduk-aduk. Seluruh hatiku bagai ditelanjangi oleh cermin kebenaran. Hanya benar dan salah yang bisa kita pilih. Surga atau neraka, tidak ada jalan pertengahan.

Terjawablah bahwa sistem kapitalis dan sosialis tidak akan menyeesaikan prmasalahan. Lha wong yang menciptakan manusia itu Allah, pasti yang tahu penyakit dan kelemahan manusia, ya Allah juga. Karena itulah Al Quran juga disebut Asy-Syifa, penyembuh. Kembali pada Islam. Itu jawabannya.

Kami kaget sendiri ketika tiba-tiba terdengar adzan dzuhur dari menara salman. Tak terasa waktu berlalu.Kang Yudi lalu mengajakku sholat berjamaah.Itulah sholat yang paling indah yang pernah kulakukan.Aku menemukan cintaku kembali pada penciptaku.Menginginkan ruku’ dan sujud berlama-lama.Mengagungkannya,memohon karunia-nya,berkelu-kesah pada-nya,memohonampun atas kelalianku selama ini….Aku tak pernah menangis rindu rumah,tapi kini aku menangis rindu rumah,tapi kini aku menangis karena kebahagiaan menemukan jati diriku Sebagai hamba Rabbku.

******

Sudah dua bulan lebih semenjak aku mendapatkan hidayah itu. Kini perlahan-lahan aku ,mulai membenahi hidup.Mulai dari meluluskan niat kuliah dan aktifitas lain,semata-mata hanyalah untuk beribadah,ingin membenahi sholat dan ritual lain.Rokok,walaupun sulit,perlahan ku tingalkan.Bahkan bergadang terasa lebih nikmat dengan tahajud.Aku juga berusaha menghilangkan penyakit alergiku terhadap mesjid.Dan yang lebih penting,aku tengah berusaha memantapkan diri di jalan-Nya yang terjal dan berliku.Ini adalah saat untuk beribadah,berdakwah,dan berjuang!

Hai orang-orang yang bersilimut,bangunlah! Dan berilah peringatan….Ya,surat Al Muddatsir 1-2 itu memerintahkan bagi manusia yang telah sadar tugas dan kewajibannya di bumi,haruslahah memberitahukannya kepada sesama muslim lainnya.Kepada Wawan,Rudi,Hardi,dan saudara-saudara seimanku semua,supaya kami bisa bersama-sama merintis kemenangan Dien islam yang tercinta di muka bumi.Amin.

Hmm…mungkin dulu aku terlalu segan bertukar pikiran dengan mereka yang selalu berbaju taqwa,menundukan pandangan,berjenggot,dzikir tiap waktu,dan sama sekali tidak gaul.Apalagi dengan para gadisnya yang berkerudung lebar dan selalu menunduk.Aku segan,mereka segan.

Ya. akhirnya sama-sama eksklusif.Tapi sosok seorang Yudita yang bersahaja,cool,dan jenaka telah membalik pola berpikirku 180 derajat.Ia berbekal Al Qur’an lusuhnya,mengajarkanku tentang hakikat hidup manusia.

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka.Mereka berpegang pada jalan Allah,lalu mereka membunuh atau terbunuh.(itu telah menjadi)janji yang benar dari Allah dalam Turat,Injil,dan Al Qur’an.Dan siapakah yang telah menepati janjinya selain Allah?Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan,dan itulah kemenangan yang besar.(At-taubah:111)”

Ayat yang menggetarkan itu di tulis Kang Yudi dalam buku hadiahnya padaku,”Petunjuk jalan”Karya Ash Syahid Sayyid Quthb.Ia memberikannya sasaat sebelum aku pulang kampung untuk berlebaran ke jember.Wah, ini hadiah terindah yang pernah ku miliki.

Bis yang membawaku bergerak pelan-pelan meninggalkan Leuwi Panjang membawaku yang tengah mengenang pembicaraan per-pisahan kami barusan.

“Jaga iman ya,Neng.Karena iman adalah jaminan yang palingkuat dalam menghadapi pasang surutnya kehidupan.Orang-orang beriman tidak pernah berputus asa dan kehilangankepercayaan diri dalam kondisi apapun.Sebab mereka tahu bahwa mereka terikat dengan kekuatan yang tak terbatas dari sang pencipta.hati mereka tenang,jernih,kuat….”
“Insya Allah,Kang.Doakan saya.”
“Jadi.”Katanya menggoda,”hidup itu menurut Danang sekarang bagaimana?”
“It’s not like a box of chocalate,” jawabku nyengir.
“iya.Kalo kaya coklat, mendingan di makan aja…”
Ha…ha….
“Ya,Ramadhan ini jiwa-jiwa kering segar kembali…***

Bandung,22 April 2003
Karya: Sekar Sari

About mahendros

jangan lupa, usahakan disiplin
This entry was posted in Sastra and tagged . Bookmark the permalink.

8 Responses to Hidup Tak Seperti Sekotak Coklat

  1. mycluna says:

    hidup memang gak seperti sekotak coklat 🙂
    salam farmasi :))

  2. City Of Tree says:

    kata2 dr film The Golden Ticket. Bocah yg beruntung dapet ticket dr kotak coklat

Leave a reply to mycluna Cancel reply